Muamalah syariah

MARI BERMUAMALAH SYARIAH DAN
MENGHINDARI TRANSAKSI-TRANSAKSI YANG HARAM

Allah telah menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi semuanya untuk manusia (Q.S. al-Baqarah ayat 29), maka pengertiannya ”segala sesuatu yang ada di muka bumi hukum asalnya adalah halal” dan berdasarkan ayat tersebut para Fuqaha membuat qaidah ”semua bentuk muamalah hukum asalnya adalah halal selama tidak ada dalil yang mengharamkannya”. Oleh karena itu sebelum seseorang berbisnis, mempelajari dan memahami hukum-hukum muamalah adalah wajib. Lebih-lebih di zaman akhir ini, semakin banyak manusia yang sudah tidak memperdulikan lagi hukum halal haram di dalam mendapatkan harta. Padahal perbuatannya itu menyebabkan mereka dibakar oleh api neraka. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW:
ليأ تينﱠ على الناﱠس زمان ﻻ يبالى المرﺀ بما ﺃخذ المال ﺃمن حلال ﺃم من حرام  ٭رواە البخاري کتاب البيوع 
Akan datang suatu masa, orang tidak peduli dari mana harta yang dihasilkannya, apakah dari jalan yang halal atau dari jalan yang haram (HR. Bukhari, Kitabul Buyu’)
ياکعب بن عجرﺓ ﺇﻧﻪ ﻻيربوﳊﻡ نبﺖ من سحت إﻻ ﮐﺎنتﺍﻟﻨﺎﺭ ﺃﻭلى بﻪ      
                             [صحيح :  اَلألباني تَحقيق اَلترمذي، سنن] 
Wahai Ka‟ab bin Ujrah, sesungguhnya tidaklah tumbuh setiap daging yang diberi asupan makanan yang haram melainkan nerakalah yang berhak membakarnya (HR. Sunan Atturmudzi: soheh)
Selanjutnya supaya terhindar dari ancaman api neraka, wajib hukumnya mempelajari transaksi-transaksi yang haram. Secara umum ada 7 (tujuh) transaksi yang haram:
 1) transaksi riba,
 2) maysir (perjudian),
 3) gharar (penipuan, ketidakpastian), 
4) dharar (penganiayaan, saling merugikan), 
5) maksiat (secara langsung atau tidak, melanggar syariah), 
6) suht (haram zatnya), dan 
7) risywah (suap).

1. Transaksi Riba

Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa penjelasan tentang riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.

 Pengertian riba menurut para ahli fiqih dari beberapa madzhab
Golongan Hanafiah memberikan ta‟rif bahwa riba adalah kelebihan atau tambahan yang kosong dari ganti dengan standar syar‟i yang disyaratkan kepada salah satu dari dua orang yang bertransaksi dalam tukar menukar (Ibnu Abidin 4/176 dan apa-apa yang sesudahnya, dan ta‟rif ini juga bagi al-Tamrutasy dalam Tanwir al-Abshar dan dalam al-Ikhtiyar 2/30). Dikatakan juga bahwa riba di dalam syara‟ adalah pengertian dari suatu akad yang rusak dengan sifat sama saja di dalamnya ada tambahan atau tidak ada tambahan. Karena menjual beberapa dirham dengan beberapa dinar secara utang walaupun tidak ada tambahan, hukumnya riba.
Contoh: A pinjam dari B Rp 1.000.000, B meminjamkan dengan pengembalian Rp 1.200.000. Rp 1.000.000 dari B kepada A sebagai pinjaman dan Rp 1.000.000 dari A kepada B sebagai pengembalian, berarti ada gantinya yang senilai. Tetapi tambahan pengembalian dari A sebesar Rp 200.000 kepada B, tidak ada gantinya dari B kepada A senilai uang tersebut (kosong dari ganti). Transaksi ini riba dan haram hukumnya.

Golongan al-Syafi‟iyah memberikan ta‟rif bahwa riba adalah transaksi atas dasar adanya imbalan tertentu yang tidak diketahui persamaannya dalam standar syara‟ pada saat bertransaksi atau bersamaan dengan mengakhirkan dua gantinya atau salah satu gantinya (Mughni al-Muhtaj 2/21).
Contoh: menukar padi di sawah dengan padi yang sudah kering 1 ton, dengan perhitungan kira-kira kurs-nya itu ada penurunan 20 persen. Tetapi persamaannya tidak diketahui dengan pasti. Hukumnya adalah riba.
Golongan al-Hanabilah memberikan ta‟rif bahwa riba adalah adanya kelebihan/tambahan dalam segala sesuatu dan penggemukan dalam segala sesuatu, dikhususkan dengan segala sesuatu yang syara‟ datang mengharamkannya yakni mengharamkan riba di dalamnya secara nash untuk sebagiannya dan mengharamkannya secara kias untuk sebagian lainnya (Kasysyafu al-Qina‟ 3/251, Mathalibu uli al-nuha 3/157).
Contoh: A pinjam kepada B gandum seberat satu kuintal. A mengembalikan kepada B gandum seberat satu seperempat kuintal (barang ribawi secara nas hadits). Atau, A pinjam kepada B beras satu kuintal. A mengembalikan kepada B beras seberat satu seperempat kuintal (barang ribawi secara kias). Ini semua hukumnya riba.
Golongan al-Malikiyah memberikan ta‟rif tiap-tiap macam riba secara sendiri-sendiri (Kifayatu al-Thalib al-Rabany 2/99 dan lainnya).
Ada beberapa lafadz yang berhubungan dengan riba.
1. Al-bai‟
Al-bai‟ secara bahasa adalah masdar dari baa'a  arti asalnya: pertukaran harta dengan harta dan umum digunakan dalam arti “transaksi” secara majaz, karena al-bai‟ menjadi sebab kepemilikan. Al-baai‟  umum digunakan juga atas tiap-tiap satu dari dua orang yang bertransaksi (al-baai‟ bisa diartikan penjual dan bisa diartikan pembeli pen.). Tetapi kata-kata al-baai‟  ketika disebut secara bebas yang paling cepat bisa diterima oleh pikiran artinya ialah “orang yang memberikan barang” dan al-bai‟  jika disebut secara bebas bisa diartikan “barang dagangan” dan bisa dikatakan: ini dagangan yang bagus (al-Mishbahu al-Munir hal. 69).
Menurut istilah, al-Qolyuby memberikan ta‟rif al-bai‟ adalah transaksi tukar menukar harta yang memberi faedah kepemilikan suatu benda/barang atau manfaat untuk selamanya bukan karena adanya tujuan taqarrub (Hasyiah Qolyuby 2/152 dan al-Mausu‟ah 22/50). Pada dasarnya jual beli hukumnya halal dan riba hukumnya haram.
2. Al-„araaya
Al-„ariyah secara bahasa adalah pohon kurma yang oleh pemiliknya diberikan kepada orang lain agar memakan buahnya yang masih segar, atau pohon kurma yang dimakan buahnya yang masih ada di atas pohon. Jama‟nya al-„araaya dikatakan juga makna al-„ariyah adalah memakan buah kurma yang masih segar (al-Mishbah al-Munir dan kamus al-Muhit).
Adapun golongan al-Syafi‟iyah memberikan ta‟rif bahwa al-„ariyah adalah menjual kurma basah di atas pohon dibayar dengan kurma kering di atas bumi atau menjual anggur basah di atas pohon dibayar dengan anggur kering di atas bumi yang jumlahnya kurang dari lima wasak (1 wasak = 60 sho‟, 1 sho‟ = 2,7 kg pen.), sesuai dengan taksiran persamaannya (Syarhu al-minhaj lil Mahally 2/238, al-Mausu‟ah 9/91). Di dalam bai‟ araaya ada unsur riba dan syubhat yang ada dalam al-muzabanah tetapi jual beli araaya itu diperbolehkan secara nash, di antaranya:
Dari Sahal bin Abi Hatsmah dia berkata: Rasulullah SAW melarang jual beli kurma dibayar dengan kurma, dan beliau memberi kemurahan dalam urusan ariyah dijual dengan taksirannya, keluarganya memakan kurma basah dari jual beli ariyah (H.R. al-Buhari, al-Fathu 4/387 cet. Al-salafiyah, dan Muslim 3/1170 cet. al-Halaby, dan lafadz kedua bagi Muslim). Di dalam lafadz lain: dari jual beli buah dengan kurma dan dia berkata: riba yang demikian itu al-muzabanah hanya saja bolehnya jual beli ariyah itu sah berdasarkan nash yaitu satu pohon dua pohon yang diambil oleh ahli rumah diganti dengan kurma kering, mereka memakan kurma basah (dari jual beli ariyah) sesuai taksirannya (Nail al-Authar 5/226).

2. Hukum riba
Riba menurut al-Qur‟an, al-Hadits dan Ijma‟ (kesepakatan) para ulama hukumnya haram, riba termasuk dosa besar, riba termasuk amalan yang melebur amal-amal kebajikan. Allah dan Rasul tidak pernah menyatakan perang kepada orang yang berbuat maksiat kecuali kepada orang yang memakan riba. Orang yang menganggap riba itu halal, hukumnya kafir karena dia mengingkari sesuatu dari urusan agama yang tidak boleh tidak setiap muslim harus mengetahuinya dan dia wajib bertaubat. Adapun orang yang melakukan riba tetapi dia menyadari bahwa yang dilakukannya adalah barang haram dan dia tidak menghalalkannya maka hukumnya fasik (maka diapun wajib bertaubat dari pelanggaran kefasikannya pen.) (al-Mabsuth 12/109, Kifayah al-Thalib 2/99, al-Mukadimat libni Rusyd 501-502, al-Majmu‟ 9/390, Nihayatu al-Muhtaj 3/409 dan al-Mughni 3/3).
Al-Mawardi dan lainnya berkata: Sesungguhnya riba tidak halal sama sekali dalam syari‟at (sebelumnya). Allah ta‟ala berfirman:
Dan karena mereka mengambil riba padahal mereka telah dilarang daripadanya (QS Annisa’: 161). Yakni dalam kitab-kitab sebelumnya (al-Majmu‟ 9/391, Mughni al-Muhtaj 2/21, al-Mausu‟ah 22/51).
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
(البقرة  275)
dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. Albaqarah:275)

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ [البقرة: ٢٧٥]
Orang-orang yang makan riba mereka tidak bangun dari kubur kecuali seperti orang yang kesurupan setan dari gila (QS. Albaqarah:275)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (سورة آل عمران : ١٣٠) 

Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian makan riba dalam keadaan berlipat ganda dan bertakwalah kalian kepada Allah agar kalian beruntung (QS.Ali Imron 130)
Penjelasan
Ayat ini tidak membatasi atau mensyaratkan bahwa riba itu haram kalau sudah berlipat ganda, akan tetapi ayat ini menjelaskan bahwa riba itu bisa menyebabkan seseorang utangnya menjadi berlipat ganda. Contoh: A meminjamkan barang kepada B seharga Rp 10.000.000. Dibayar lunas dalam 3 bulan. Ketika telah datang waktu pembayaran, A berkata kepada B: utangmu kamu bayar sekarang atau kamu saya beri waktu 3 bulan lagi tetapi utangmu menjadi Rp 12.500.000 begitu seterusnya sehingga yang tadinya utangnya hanya Rp 10.000.000 bisa menjadi Rp 20.000.000 bahkan mungkin bisa menjadi ratusan juta rupiah karenanya (Ahkamu al-Qur‟an lil Jashosh 1/465, Tafsir Abi al-Sa‟ud 1/271, dan Ruhu al-Ma‟any 4/55).

  • عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ :  اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا : وَمَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : الشِّرْكُ بِاَللَّهِ  وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ  وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاتِ الْمُؤْمِنَاتِ . {البخاري} 

Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW beliau bersabda: Jauhilah tujuh amalan yang menjadi pelebur amal kebajikan (tujuh dosa besar yang membinasakan pen.), mereka berkata: apakah amalan-amalan itu ya Rasulullah SAW? beliau bersabda: syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang dan menuduh berbuat zina kepada seorang mukminat terhormat yang lalai dari zina (H.R. al-Bukhari, al-fath 5/393 cet. Salafiah, Muslim 1/92 cet. al-Halabi, al-Mausu‟ah 22/52).

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ . رواه مسلم رقم 2995 
Dari Jabir ibn Abdillah RA dia berkata: Rasulullah SAW melaknati orang yang makan riba, orang yang memberi makan riba, penulisnya dan dua orang saksinya, (mereka) hukumnya sama saja (HR. Muslim: 2995)
Ulama telah ijma‟ (sepakat) atas asli haramnya riba (Hasyiatu ash-Shu‟aidy ‟ala Kifayati al-Thalib 2/99, al-Majmu‟ 9/390, al-Mukadimat libni al-Rusyd 501-502).
(Bersambung………….)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMERINTAH DAERAH APRESIASI LDII KABUPATEN LAHAT

TEMU PENEGAK PANDEGA DAERAH SAKO PRAMUKA SPN SUMSEL 2023

DPD LDII Audiensi dengan Kakanmenag Kabupaten Lahat